Krisis Pendidikan Nonformal di PengungsianOleh ACHMAD SETIYAJI
Bangsa Indonesia mengalami tiga kali peristiwa bencana yang mengakibatkan jatuh korban jiwa dan harta benda dalam jumlah besar yakni gempa bumi dan tsunami di kawasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Sumatra Utara, gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, serta gempa bumi dan tsunami di daerah Pantai Laut Selatan.Adapun yang patut dicermati dari ketiga peristiwa tersebut, ternyata antusias masyarakat -- pada masa pascatanggap darurat-- terhadap para korban bencana di lokasi pengungsian acap kali tidak optimal. Sebagian masyarakat cenderung menggebu-gebu gairahnya untuk memberikan bantuan berupa dana dan barang hanya pada masa tanggap darurat.Selanjutnya, masyarakat terkesan kurang antusias memberikan bantuan tingkat lanjut bagi para pengungsi. Bahkan tak jarang, ada sejumlah oknum masyarakat yang datang ke lokasi pengungsian berperan mirip "penonton", dan menjadikan para pengungsi "seolah-olah" merupakan objek foto dan gambar yang layak diabadikan dengan menggunakan kamera foto maupun handycam.Alhasil, para pengungsi yang "kehausan" ilmu pengetahuan dan "kelaparan" materi pendidikan itu dibiarkan begitu saja. Demikian halnya, teriakan-teriakan para relawan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan nonformal misalnya, seolah-olah tak didengarnya. Problem di lokasi pengungsian ini, ironisnya --berdasarkan pengamatan penulis di tiga lokasi bencana yakni kawasan NAD, DIY dan Jateng, serta Pangandaran Ciamis-- hingga sekarang belum ada solusinya yang kualitatif dan terpadu. Keterbatasan dana, waktu, dan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan-- yang diperankan para relawan serta instansi Tenaga Pendidik dan Kependidikan-Pendidikan Non Formal (PNF) Depdiknas-- tampaknya kurang diperhatikan oleh sebagian anggota masyarakat yang tidak mengalami musibah bencana serta instansi terkait lainnya.Di antara anggota masyarakat ada yang kurang tanggap terhadap perlunya kegiatan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian pada pascatanggap darurat. Ya, termasuk tentang upaya menyediakan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan bagi aktivitas pendidikan nonformal.Fenomena krisis pendidikan di lokasi pengungsian ini, tentu turut mewarnai dunia pendidikan nasional yang sedang "terpuruk" kualitasnya sebagaimana diungkap Wapres Jusuf Kalla. Di depan peserta Rakornas Revitalisasi Pendidikan di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (8/8), Jusuf Kalla mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam akan terpecah di masa mendatang bilamana kualitas sumber daya manusia berbeda-beda karena perbedaan kualitas pendidikan. Pernyataan Jusuf Kalla ini tentu penting, mengingat sebagian besar SDM Indonesia sekarang berada di lokasi pengungsian akibat bencana. Masa depan mereka, jelas berkaitan erat dengan kualitas pendidikannya, baik formal maupun nonformal.Potret krisis pendidikan nonformal di lokasi pengungsian tersebut, setidaknya tercermin dari realita tertatih-tatihnya para sukarelawan lembaga-lembaga sosial kemanusiaan tatkala berkiprah di lokasi bencana di NAD, DIY, dan Jateng, serta kawasan Pangandaran Ciamis.Para sukarelawan mengalami kesulitan mewujudkan program pendidikan nonformalnya secara sempurna, mengingat tingkat kesadaran masyarakat --korban bencana maupun yang tidak terkena bencana-- tentang pentingnya pendidikan nonformal cenderung minim. Dalam konteks ini, pimpinan Gema Nusa, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) berpandangan, idealnya program pendidikan nonformal bagi para pengungsi korban bencana seperti di NAD dilakukan secara sempurna. Misalnya, melibatkan sebanyak-banyaknya potensi generasi muda setempat dan dilakukan secara kontinu, serta memperoleh dukungan optimal dari berbagai pihak terkait. Bentuk kegiatannya bisa berupa program pendidikan nonformal dan keterampilan yang lebih beragam jenisnya. Selain itu, diupayakan pula program kerja sama antara lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan dengan instansi terkait antara lain Depdiknas, terutama yang benar-benar eksis dan memiliki perangkat aksi yang kualitatif di lokasi pengungsian. Di sisi lain, perlu ada kesadaran kemanusiaan dan keikhlasan di kalangan para alumni perguruan tinggi untuk mengamalkan ilmunya mendidik masyarakat di lokasi pengungsian. Ya, sangat dibutuhkan kehadiran dan peran optimal para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan nonformal. Betapa tidak, di lokasi pengungsian sangat diperlukan antara lain adanya tenaga PAUD (pendidikan bagi anak usia dini), fasilitator desa binaan intensif (FDI), instruktur kursus keterampilan, tenaga administrasi pendidikan, pustakawan, narasumber teknis, dan tenaga lapangan dikmas di tingkat kecamatan. Sungguh, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian korban bencana alam, maka diperlukan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang andal. Secara institusional, tentunya Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas memiliki tugas dan kewenangan memenuhi kebutuhan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian. Direktorat Depdiknas tersebut, perlu menstimulus para sarjana untuk bersedia amal saleh di daerah-daerah. Bahkan patut pula menstimulus Pemprov Jabar agar bersedia menjadikan lokasi-lokasi bekas bencana alam sebagai tempat pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) para mahasiswa. Dengan upaya ini, mudah-mudahan terwujudlah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.*** Penulis, wartawan Pikiran Rakyat Bandung