HTML/JavaScript

Welcome to zulfikar.tn07

Sabtu, 28 Februari 2009

Sistem Pendidikan Islam

dimuat di Harian Tribun Timur, Jum’at, 13 April 2007

Kebutuhan akan pendidikan termasuk dalam kebutuhan mendasar yang mutlak harus dipenuhi oleh manusia seperti halnya kebutuhan akan papan, sandang dan pangan. Hanya saja, kenyataan kekinian di negeri ini tentang dunia pendidikan semakin membuat miris dan prihatin, karena ternyata potret dunia pendidikan yang ada sangat jauh dari yang diharapkan.
Paling tidak, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan utama pendidikan negeri ini, di antaranya paradigma pendidikan nasional yang sekularistik, mahalnya biaya pendidikan, dan rendahnya output SDM yang dihasilkan.

Tak bisa dipungkiri bahwa paradigma dunia pendidikan saat ini tidak lepas dari asas sekularisme, yang telah meniadakan keberadaan agama untuk mengatur kehidupan. Agama (Islam) telah dipandang hanya sebatas untuk mengatur ibadah ritual semata.

Sementara dalam mengatur kehidupan berekonomi, politik, termasuk dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya, agama tak diberikan ruang untuk mengaturnya. Akibatnya, segala peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan ini, semuanya berasas pada aturan hasil buatan manusia yang jauh dari tuntunan Ilahi.

Bukti nyata tentang sekulernya dunia pendidikan ini bisa dilihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15.
Bunyinya, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus”. Dalam pasal ini terlihat jelas adanya pen-dikotomi-an pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum.

Selain itu, secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pula pada pendidikan agama melalui madrasah, universitas berbasis agama, maupun pesantren yang dikelola oleh departemen agama. Sementara untuk pendidikan umum mulai sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan hingga perguruan tinggi umum, dikelola oleh departemen pendidikan nasional.


Berdasarkan paradigma sistem pendidikan ini, terkesan bahwa pengembangan ilmu-ilmu umum terkait dengan kehidupan (iptek dan skill) yang dikelola oleh depdiknas dipandang sebagai hal yang tidak berhubungan dengan agama.

Akibatnya, di satu sisi pembinaannya fokus pada bidang keilmuan umum tersebut, dan pada saat yang sama, bagian terpenting dari proses pendidikan yang harus dilakukan yaitu, pembentukan karakter/kepribadian siswa/mahasiswa menuju kepribadian yang baik dan bertanggungjawab justru tidak terbina dengan serius. Selanjutnya, sekularisasi pendidikan ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat 10 bidang mata pelajaran.


Mata pelajaran itu adalah a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan sosial; g) seni dan budaya; h) pendidikan jasmani dan olah raga; i) keterampilan kejuruan; dan j) muatan lokal.
Dalam hal ini, jelas terlihat bahwa agama ditempatkan sebagai mata pelajaran paling minimal untuk dipelajari dengan pembagian waktu yang sangat tidak proposional dan juga tidak dijadikan asas bagi bidang pelajaran yang lainnya. Ironisnya lagi, pada beberapa fakultas di sejumlah perguruan tinggi saat ini, mata kuliah agama, kalau pun masih diajarkan, diberikan maksimal dua SKS hanya dalam satu semester selama rentang waktu belajar beberapa tahun di kampus.


Kurikulum Dilematis


Bisa dipastikan, kondisi ini tentu tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan baik bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.


Dilematisnya kurikulum ini sendiri tentu saja bermula dari asas pendidikan sekuler tadi, yang pasti mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqafah (pengetahuan) Islam dan pembentukan Syakhsiyyah Islamiyah (kepribadian Islam) yang tangguh kepada peserta didik.
Di satu sisi, paradigma pendidikan sekuler ini memang berhasil melahirkan manusia-manusia “super” dalam hal penguasaan sainstek melalui sederet pendidikan umum yang telah diikuti.


Namun, pada sisi yang lain, keberadaan sistem pendidikan ini ternyata sudah terbukti gagal membangun kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqafah (pengetahuan) Islam. Bukti atas hal ini, suatu hal yang tidak bisa dirahasiakan bahwa ternyata, secara umum sangat banyak lulusan pendidikan umum (terkhusus yang beragama Islam) yang buta agama.


Begitu pun dengan kepribadiannya, juga sangat jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan cenderung dibarengi dengan kerendahan akhlak. Berbagai contoh yang bisa kita ambil adalah seperti maraknya penyalahgunaan narkoba pada kalangan siswa/mahasiswa, seks bebas, tawuran, dan sebagainya. Sebaliknya, juga terjadi pada mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama.

Tanpa menegasikan keberadaan siswa/mahasiswa pendidikan umum, dimana ada juga yang baik agamanya melalui serangkaian proses belajar di luar pendidikan formal, ada kesan bahwa output dari pendidikan agama ini memang bisa lebih banyak menguasai tsaqafah Islam dibandingkan dengan yang berasal dari pendidikan umum.
Namun, di sisi yang lain, tak dipungkiri mereka pun juga banyak yang tidak tahu akan perkembangan sains dan teknologi.


Pada akhirnya, sektor-sektor modern seperti industri, pertambangan, dan berbagai bidang teknologi mutakhir lainnya, terkadang hanya ditempati oleh orang-orang yang berasal pendidikan umum, sementara orang-orang dari pendidikan agama, seakan berkumpul hanya “di dunianya sendiri” (madrasah, pesantren, dosen/guru agama, depag).


Solusi Fundamental


Berbagai permasalahan pendidikan yang telah diuraikan atas, menuntut adanya penyelesaian yang dilakukan sesegera mungkin. Namun demikian, penyelesaian itu takkan cukup jika hanya dilakukan dengan sekadar mengganti struktur, prosedur penerimaan siswa/mahasiswa. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah solusi yang fundamental; yakni dengan mengubah paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pendidikan Islam, dimana yang menjadi pondasi dari pendidikan ini adalah aqidah Islamiyah, yang tidak mengenal adanya dikotomi pendidikan umum dan agama.
Dari sinilah, akan lahir generasi unggul yang tak hanya menguasai sains-teknologi saja, tetapi juga akan mapan dalam pemahaman ilmu-ilmu Islam yang akan membentengi mereka dari berbagai akhlak yang buruk.


Politik pendidikan Islam yang berbasis aqidah dan tanpa dikotomi ini telah terbukti berhasil melahirkan ribuan ulama sekaligus ilmuan pada berbagai disiplin ilmu. Sebutlah diantaranya Ibnu Sina (ahli kedokteran yang buku-bukunya pernah dijadikan referensi oleh para ilmuan Barat), Al-Khawarizmi (penemu angka nol), al Kindi, al Farabi, dll.
Mereka, di samping menguasai ilmu-ilmu keduniaan (saintek), juga seorang ulama pada zamannya, tentu dengan kepribadian tinggi yang berasas pada kesadarannya akan hubungannya dengan sang pencipta.
Dengan paradigma sistem pendidikan Islam ini, tentu harapan akan lahirnya sumber daya manusia yang handal, berkualitas unggul, dan berkepribadian Islam serta mempunyai daya saing hingga di tingkat internasional sekali pun, takkan hanya sekadar isapan jempol belaka.Wallahua’lam bi ash shawab. (***)