HTML/JavaScript

Welcome to zulfikar.tn07

Sabtu, 28 Februari 2009

Muhammadiyah dan Pendidikan Kaum Tertindas

Oleh : Agus Wibowo*
Harus diakui bahwa Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi yang lahir pada awal abad ke-20 di Indonesia, yang masih tetap solid, tegak, kokoh dan terus berkembang dalam pergulatan politik bangsa ini. Di usianya yang sudah sangat dewasa, telah banyak menelorkan ide-ide kreatif yang turut dinikmati bukan saja oleh anggotanya, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Lewat amal usahanya baik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan mampu mengantarkan warganya pada transformasi sosial sekaligus reformasi keagamaan yang disebut Kuntowijoyo sebagai rasionalisasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Muhammadiyah tidak akan pernah ada seperti sekarang ini tanpa perjuangan sosok Kyai Dahlan (KHA. Dahlan), sebagai pendiri Muhammadiyah. Oleh karena itu, sudah semestinya lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah meneruskan nilai-nilai luhur pemikiran dan ajaran Kyai Dahlan, lewat pembelajaran Al Islam dan Kemuhammadiyahan yang dinamis, kritis dan integralistik sesuai dengan tuntutan zaman.
Wacana yang mulai berkembang di masyarakat terhadap sistem pendidikan muhammadiyah akhir-akhir ini, adalah tingginya biaya pendidikan di Muhammadiyah. Persoalan ini semestinya menjadi perhatian yang serius bagi muhammadiyah. Wacana yang sama juga pernah dilontarkan oleh Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah pusat periode 2000-2005. Menurutnya ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari sistem pendidikan Muhammadiyah, diantaranya ; pendidikan Muhammadiyah belum mampu membentuk prilaku Islami para warga sekolah, belum sanggup menciptakan kultur Islami yang representatif, telah kehilangan identitas dan belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah.
Menurut pendapat penulis, wacana tersebut memang ada beberapa hal yang saat ini sudah tidak relevan lagi. Hal ini dapat dilihat di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mulai berbenah menciptakan kultur Islami dalam lingkupnya, baik dari aspek ibadah wajib; diadakan sholat berjamaah, tadarus dan sebagainya, maupun aspek nilai-nilai Islami yang mulai dikembangkan dalam prilaku warga sekolah. Program Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang ada di setiap sekolah Muhammadiyah, menjadi garda terdepan dalam penerapan etika Islami di setiap gerak nadi kehidupan warga sekolah. Meskipun demikian, kritik yang menyangkut penekanan biaya pendidikan serendah-rendahnya di lembaga pendidikan Muhammadiyah, barang kali ada benarnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah, memiliki mutu yang unggul tetapi tergolong mahal dalam tingkat pembiayaan (choost education). Untuk tingkat sekolah dasar saja misalnya, biaya pendidikan—entah shodaqoh jariyah dan sebagainya, setara atau bahkan melebihi biaya S-2 (Magister). Belum lagi untuk tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Pada gilirannya, hanya orang-orang kaya dan berduit yang mampu mengenyamnya, dan ”orang miskin dilarang sekolah.”
Logika sederhana, ini bertentangan dengan cita-cita Kyai Dahlan tentang isi pendidikan Islam sebagaimana dikutip Mulkhan dalam bukunya Masalah-masalah Teologi dan Fiqih dalam Tarikh Muhammadiyah (1994 : 48). Menurut Kyai Dahlan, isi pendidikan Islam meliputi: 1) iman, 2) cinta sesama dan pemihakan pada orang sengsara, 3) tingkat perbedaan terendah adalah asas kebersamaan 4) pengembangan rasa tanggungjawab dan penyerahan, 5) mengembangkan kemampuan berpikir dan 6) pengendalian diri. Sementara objek terpenting gerakan dakwah Muhammadiyah menurut Kyai Dahlan adalah; rakyat kecil, hartawan dan intelektual. Jika demikian halnya, bagaimana Muhammadiyah bisa menjadi sandaran masyarakat miskin dan tertindas, jika meraka tak mampu untuk mengenyam pendidikan di sana ? Dalam posisi ini Muhammadiyah bak makan buah simalakama. Di satu sisi, seiring perkembangan globalisasi lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk meningkatkan mutu dan kualitas layanannya agar tidak kehilangan eksistensinya, dan tidak kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lain baik negeri, maupun sekolah di bawah yayasan keagamaan (Kanisius, Hindu, Budha dan sebagainya). Untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu dibangun softwere (pembuatan kurikulum, pemilihan dan penggajian tenaga pendidik yang berkualitas) dan hardwere (gedung sekolah, laboratorium, sarana perbengkelan, sarana kesehatan, buku-buku dan sebagainya) pendidikan yang memadai. Pembangunan sarana-prasarana ini jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit, sedangkan Muhammadiyah bukan merupakan lembaga negara —yang segi pendanaanya ditanggung oleh negara. Sementara di sisi lain, Muhammadiyah mengemban misi pembebasan kaum miskin papa yang tertindas, yang harus mewujudkan tujuan mulia amanat Kyai Dahlan menafsirkan QS Al-Ma’un dalam kehidupan nyata.


Perlu Manajemen Profesional
Barangkali lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak akan memakan simalakama jika saja Muhammadiyah bisa belajar dari ide-ide kratif Kyai Dahlan. Dalam catatan sejarah beliau mampu memecahkan persoalan pelik membuat lembaga pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Waktu itu, lembaga pendidikan yang ada hanyalah lembaga pendidikan milik pemerintah Belanda seperti HIS, MULO, sekolah guru dengan sistem pendidikan barat dan pendidikan model pesantren tradisional. Hanya anak para priyayi dan kaum ningrat saja yang bisa bersekolah di situ. Kyai Dahlan menyadari bahwa untuk melakukan trnsformasi sosial, membebaskan rakyat dari penjajahan, menyadarkan rasa keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan hanya melalui pendidikan. Oleh karena itu beliau mendirikan lembaga pendidikan yang mengadaptasi sistem pendidikan Belanda (barat) dan mengintegrasikan dengan pendidikan model pesantren yang ada saat itu. Akhirnya, terciptalah sistem pendidikan Muhammadiyah yang modern tetapi masih bisa dinikmati rakyat miskin. Kyai Dahlan memberikan contoh bagaimana menyiasati berbagai kebuntuan mutu dan pendanaan pendidikan melalui penerapan manajemen yang profesional. Padahal, beliau belum mempelajari konsep-konsep manajemen modern seperti sekarang ini.
Ber-ibrah dari pengalaman Kyai Dahlan, maka lembaga pendidikan Muhammadiya semestinya perlu dikelola secara profesional dengan manajemen yang profesional pula. Sehingga, orang miskin dan kaum tertindas bisa menikmatinya. Manajemen profesional ini merupakan manajemen yang mampu melaksanakan fungsi-fungsinya secara sungguh-sungguh, konsisten dan berkelanjutan, dalam mengelola sumber daya pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Kast and Rosenweig : 1979). Meminjam istilah M. Azhar (2005), terjadi pergeseran konsep manajemen keihlasan tradisional menuju keihlasan profesional dalam pengelolan pendidikan. Kriteria efektif dan efisien menurut Sugiyono (2006) adalah efektif dalam proses; to do right things, efektif produk atau efektif dalam derajat pencapaian tujuan. Sementara efisien meliputi efisiensi proses; yang tercapai dengan mengerjakan pekerjaan yang benar dengan cara yang benar serta efisiensi produk dengan jalan optimasi penggunaan sumber daya (resourches).
Setiap kebijakan pendidikan menurut manajemen profesional dikelola dengan langkah-langkah : pertama, dilakukan perencanaan (plan) secara matang, baik perencanaan strategis maupun taktis. Kedua, pelaksanaan (do) yang melibatkan sumber daya manusia yang profesional dan sesuai bidangnya. Dalam tahap pelaksanaan ini diperlukan pengkoordinasian, supervisi, pengawasan dan kepemimpinan yang profesional. Ketiga, tahap evaluasi. Setelah kebijakan dilaksanakan maka perlu dievaluasi (check) untuk mengetahui sejauhmana perencanaan dapat dilaksanakan dan tujuan tercapai. Keempat, hasil evaluasi selanjutnya digunakan untuk perbaikan (reviw). Ini berarti setiap akan merumuskan kebijakan baru, harus didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan yang telah diimplementasikan. Manajemen pendidikan yang profesional selalu mengadakan plan, do, check dan review secara konsisten, terus menerus dan berkelanjutan.
Disadari maupun tidak, banyak anggota Muhammadiyah yang menduduki posisi kunci dan penting dalam lembaga pemerintahan kita. Seharusnya aset ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Muhammadiyah untuk memberi masukan-masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan terkait dengan pendidikan murah. Menurut hemat penulis, jika elit Muhammadiyah di pemerintahan bersatu-padu dan tolong-menolong (dalam kebaikan), bukan tidak mungkin kebijakan pendidikan gratis atau pendidikan untuk semua (education for all) bakal menjadi kenyataan. Akhirnya, hanya pendidikan yang dikelala secara profesioanl yang bakal tetap eksis menghadapi tantangan zaman. Sekolah bermutu tidak harus mahal, tetapi bagaimana menjalankan manajemen secara benar dengan menempatkan sumber daya pada tempat yang tepat (the right man on the right place and job), waktu yang tepat, dan cara yang tepat pula. Jika lembaga-lembaga pendidikan non-keagaman dengan mutu baik dan murah semakin bertebaran, haruskah lembaga pendidikan muhammadiyah kehilangan pangsa pasar karena biaya pendidikan yang saban tahun semakin meningkat ? Menjadi pemikiran bersama bagi kita dan para stake holder pendidikan Muhammadiyah, untuk mewujudkan pendidikan murah dan bisa dinikmati semua (education for all). Smoga [] *) Kader Muhammadiyah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.