Medan, Kompas - Mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengingatkan, advokat adalah profesi yang mulia sehingga mereka yang menjalani profesi ini harus benar-benar orang yang terpilih. Keterpurukan advokat bukan karena faktor lain, tetapi justru karena perilaku sejumlah advokat yang kurang profesional. Karena itu, seseorang yang akan menjadi advokat harus menjalani pendidikan khusus dan tidak cukup hanya bergelar sarjana hukum (SH).
Berbicara dalam Rapat Kerja Nasional (rakernas) X Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Medan, Kamis (12/9) malam, Ismail membandingkan profesi advokat dengan notaris. "Seseorang untuk menjadi notaris harus menjalani pendidikan khusus, setara strata dua (S2). Semestinya advokat pun menjalani pendidikan yang sama," ujarnya.
Mantan Jaksa Agung itu mengharapkan, sejumlah fakultas hukum membuka program khusus advokat. Dengan begitu, kedudukan advokat-dari sisi keilmuan-setara dengan notaris yang jelas diakui spesialisasinya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dalam Undang-Undang (UU) Profesi Advokat nantinya ditegaskan calon advokat harus lulus lebih dahulu dari pendidikan spesialis tersebut.
Ismail menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang sarjana hukum sekadar mencoba-coba untuk menjadi advokat/pengacara. Sebab, selama ini syarat menjadi pengacara hanya harus bergelar SH dan menjalani ujian. "Coba-coba itu, kan, bukan ciri profesional. Tetapi, karena advokat tidak ada pendidikan spesialisasinya, ya ini bisa saja terjadi," katanya lagi.
Ismail juga mengingatkan, wajah advokat harus berbeda dengan jaksa atau hakim. Ukuran keberhasilan dan profesionalisme advokat pun bukan semata-mata materi atau uang. Advokat harus berupaya mewujudkan cita-cita kemandiriannya, yakni bebas dari semua bentuk intervensi. Advokat harus menjaga citranya sendiri.
Dalam rapat lanjutan Rakernas X AAI, kemarin, Ketua Dewan Kehormatan AAI Agus Takarbobir mengakui, rusaknya citra advokat memang bukan oleh pihak lain, melainkan oleh advokat sendiri. Tetapi, Dewan Kehormatan-sebagai hakim internal di kalangan advokat-tentu saja tidak bisa menjemput bola kalau ada advokat yang diduga melanggar kode etik. Dewan Kehormatan hanya bisa menunggu adanya pengaduan.
Selama tahun 2001 sampai Agustus 2002, lanjut Takarbobir, cuma satu perkara dugaan pelanggaran kode etik yang diterima Dewan Kehormatan Pusat AAI. Sebagian perkara, seperti lima kasus di DKI Jakarta dan tiga kasus di Makassar, diselesaikan Dewan Kehormatan cabang. (tra)
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0209/14/NASIONAL/advo07.htm