Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Konsep awal dari PNF ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal (PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Sedangkan mandat PNF Indonesia tahun 2005-2009 adalah menurunkan buta huruf hingga 5% tahun 2009, meningkatkan akses PAUD ± 40% dengan mutu yang baik, meningkatkan akses pendidikan kesetaraan (25% DO SD dan 50% lulus SD dan DO SMP), meningkatkan akses pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada life skills, untuk sekitar 5% lulus SMP tidak lanjut dan DO SMU dan lulus SMU tidak lanjut. Meningkatkan kemampuan lembaga UPT/UPTD dan satuan-satuan PNF (Kursus, Kelompok Belajar, PKBM dan dan satuan yang sejenis), meningkatkan jumlah dan mutu tenaga pendidik dan kependidikan PNF, meningkatkan Good Governance.
Menurut DR. M. Syukri, MPd, pakar Pendidikan Non Formal dari FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak, penekanan kebijakan pada PNF sesungguhnya dilandasi oleh dua alasan pokok. Pertama, mengatasi kelemahan pendidikan sekolah (pendidikan formal), dimana pendidikan formal dinilai tidak cukup memenuhi pemenuhan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan serta keterampilan. Kedua, terjadinya kecendrungan global yang menuntut dilakukannya peningkatan SDM yang dilakukan secara cepat dan efektif. Upaya ini hanya mungkin dilakukan apabila masyarakat yang masih buta huruf dituntaskan programnya dan pendidikan berkelanjutan terus diupayakan.
Pendidikan non formal menjadi sebuah solusi ditengah merosotnya kualitas lulusan sekolah formal. Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Hadirnya pendidikan non formal merupakan upaya dan solusi persoalan-persoalan yang tidak terakomodir dilembaga pendidikan formal. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan terutama dunia kerja.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Dibentuknya sekolah non formal sebagai alternatif tempat belajar baik oleh pemerintah maupun swasta ternyata belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. beberapa bentuk sekolah non formal yang bermitra dengan pemerintah adalah program rintisan penyelenggaraan kelompok belajar kesetaraan, rintisan program PAUD, penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional, program pasca melek aksara, yaitu program yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Program mata pencaharian, yaitu program yang diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan bekerja secara berkelompok melalui Kelompok Belajar Usaha, juga ada program peningkatan kualitas hidup, yang termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan pendidikan ketrampilan hidup (life skills) yang diutamakan bagi mereka yang masih belum memiliki pekerjaan agar bisa membuka lapangan kerja secara mandiri. Kemudian belakangan kita juga sering mendengar home shooling sebagai sarana pendidikan bagi anak yang tidak mau sekolah formal baik dalam diselenggarakan oleh orang tua tunggal maupun majemuk ini masuk kedalam kelompok sekolah informal. Lahir juga sekolah alam dibeberapa tempat yang dikelola secara lebih kreatif dan inovatif dalam rangka membentuk anak-anak lebih peka terhadap alam dan kondisi sosial sejak lebih dini.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pernah mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun. Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun.
Sekolah non formal yang didirikan oleh swasta juga berorientasi pada peningkatan kemampuan anak bangsa baik dalam bentuk persiapan dunia kerja maupun juga peningkatan kemampuan akademis yang sekolah. Seperti banyak siswa yang mengandengkan pendidikan formal dengan nonformal seperti kursus bahasa inggris, les matematika, fisika dan lain-lain. Apalagi minat ikut les akan semakin meningkat ketika akan menghadapi uijan nasional (UN). Karena ada semacam pemahaman bahwa yang didapatkan dari guru disekolah tidak begitu cukup untuk dijadikan senjata menghadapi ujian akhir sekolah tersebut.
Sumatera Barat Intellectual Society (SIS) sebagai sebuah lembaga kajian intelektual muda Sumbar mencoba mencermati fenomena ini dengan melakukan survey tentang budaya les dikalangan pelajar SLTA se-derajat di Kota Padang. Survey ini adalah survey lapangan yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan realitas lapangan secara apa adanya. Survey ditujukan pada 100 orang pelajar SLTA se-derajat dengan teknik pengambilan sampel secara random (acak).
Hasilnya, dari total 100 orang responden, sebanyak 74 responden menjawab pernah mengikuti les/kursus, 26 responden tidak pernah. Dari total responden yang mengikuti les, sebanyak 32% mulai mengikuti les sejak SD, 53% responden mulai mengikuti les sejak SLTP, dan 15% responden mulai mengikuti les sejak SLTA. Mengenai tempat mereka mengikuti les, mayoritas responden (65%) mengikuti les di lembaga-lembaga les/ kursus (lembaga pendidikan non-formal), 16% responden ikut les di sekolah, 15% responden les di di rumah guru mereka, dan ada 4% responden yang sengaja mendatangkan guru les ke rumah mereka.
Umumnya responden mengikuti les untuk mengatasi mengatasi kesulitan belajar di sekolah dengan persentase sebesar 58%, sementara sebanyak 39% responden menyatakan ikut les sebagai persiapan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Disinggung tentang besarnya biaya les mereka, sebanyak 45% responden mengaku biaya les mereka perbulan lebih dari 100 ribu rupiah, 38% responden mengeluarkan biaya antara 50-100 ribu rupiah per bulan, dan sekitar 18% responden menyatakan biaya les mereka perbulan dibawah 50 ribu rupiah.
Ketika ditanya apakah dengan mengikuti les responden meningkat prestasi belajar, mayoritas responden (82%) menjawab prestasinya meningkat, hanya 18% responden yang menyatakan les tidak membantu meningkatkan prestasi belajar mereka. Kepada mereka juga ditanyakan, seandainya mereka tidak mengikuti les apakah mereka yakin mampu menjawab soal ulangan di sekolah? Sebanyak 54% responden justru yakin bisa menyelesaikan soal-soal ulangan disekolah dengan baik meski tidak mengikuti les, sementara 43% lainnya menjawab tidak yakin bisa menjawabnya jika tidak ikut les. Data ini melihatkan bahwa belajar bangku sekolah saja tidak cukup membuat peserta didik percaya diri menghadapi ujian akhir.
http://padang-today.com