Eksistensi Pendidikan Non Formal Dilematis
Minim political will dan Dukungan Pemerintah
Eksistensi dunia pendidikan non formal (PNF) belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan.
Demikian dikatakan MK Baginta Sembiring, ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia-Pendidikan Non formal (HISPPI-PNF) Sumut, Minggu (25/11), seusai acara pelantikan kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, di Gedung PKK Labuhanbatu di Rantauprapat.
Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu. Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PNF memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai.
Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya. Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PNF yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PNF. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya.
Memang, akunya, standart kurikulum PNF masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga PNF yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” bebernya.
PNF yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih sinergis dalam menyediakana tenaga-tenaga yang terampil dan menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja.
Pada kesempatan itu, dilantik kepengurusan HIPPSI-PNF Labuhanbatu, sebagai ketua Amin Prasetyo, sekretaris Razid Yuliwan. Serta, pada kesempatan yang sama, dilantik pula kepengurusan Dewan pengurus cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia (DPC HPPKI) Labuhanbatu, sebagai ketua Tatang Hidayat Pohan, sekretaris Hasymi Prihatin Siregar di lengkapi dengan beberapa biro.