Pendidikan usia dini, belum sepenuhnya dapat ditangani oleh pemerintah, sehingga masih banyak anak prasekolah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana diamanahkan oleh pasal 28 undang-undang pendidikan nasional no 20 tahun 2003.
Dari 8.259.200 orang anak pra sekolah usia 5-6 tahun, hanya baru dapat pendidikan sebanyak 22, 33% atau 1.845.983 orang. Rasio layanan lembaga pendidikan terhdap anak usia dini tergolong rendah, yaitu 1:86. Pada tahun 2006 dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73% atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan pendidikan usia dini. Sedangkan sisanya 27% atau sekitar 7,5 juta anak, mendapatkan pendidikan seperti membaca dan berhitung di bawah lembaga-lembaga nonformal seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan usia dini belum sepenuh tertangani oleh pemerintah dan sangat memerlukan perhatian serius guna menyelamatkan masa depan bangsa ini.
Tidak dapat dipungkiri, lambatnya penangan pendidikan usia dini akan memperpanjang catatan buram kualitas pendidikan dan menghambat percepatan peningkatan daya saing kualitas manusia Indonesia. Saat sekarang, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Singapur. Bahkan menurut laporan World Competitiveness Year Book 2007 daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 53 dari 55 negara yang diseurvei. Sedangkan daya saing sumber daya manusia jauh tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari rating Human Development Index (HDI) Indonesia diperingkat dunia berada pada urutan 107 dari 177 negara. Di Asean Indonesia diurutan ke-7 dari sembilan negara-negara Asean.
Di samping itu, indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia berada diurutan 138 dari 140 negara. Oleh sebab itu, wajar di Indonesia baru ada 0,18% pengusaha, sedangkan syarat sebuah negara maju kata Ciputra minimal ada 2% pengusaha dari jumlah penduduk. Singapura saat sekarang sudah mempunyai 5% dari jumlah penduduknya.
Keterlambatan penanganan pendidikan usia dini bersignifikan pula terhadap lambatnya pemberantasan buta aksara, sehingga melek huruf dan membaca di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Menurut laporan World Bank melek membaca anak Indonesia berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapur. Sedangkan menurut versi International Association for Evaluation of Educational Achievement (IAEEA), minat membaca anak-anak Indonesia setaraf dengan Selandia Baru dan Afrika Selatan.
Untuk keluar dari permasalahan ini, pendidikan harus dibenahi mulai dari usia dini. Pendidikan usia dini tidak dapat dibaikan. Pengabaian terhadap hal ini hanya akan memperparah keterburukan bangsa ini. Sehubungan dengan itu Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global sekarang ini. Oleh sebab itu, saatnya pemerintah mewujudkan mesin-mesin cerdas pencetak pendidikan yang berkualitas.
Salah satu mesin cerdas itu diarahkan untuk membangun kualitas pendidikan usia dini. Satu hal yang paling mendesak dilakukan untuk memperbaiki pendidikan anak usia dini adalah melakukan pemerataan terhadap institusi sekolah. Masalahnya keterbatasan instititusi sekolah tersebut telah menjadi salah satu faktor tidak tertanganinya pendidikan anak usia dini. Menurut data balitbang pendidikan nasional 2007, sebanyak 77,66% atau 641.3217 dari 8.259.200 orang anak usia dini belum tersentuh oleh pendidikan, karena keterbatasan instititusi sekolah.
Di Indonesia baru pada tahun 2004, pendidikan anak usia dini mulai mendapat pelayanan yang luas, seperti melalui bina keluarga balita (9,6%), taman kanak-kanak (6,5%), raudhatul athfal (1,4%), kelompok bermain (0,13%), dan taman penitipan anak (0,05%), serta lainnya (9,9%). Pada tahun 2007, pelayanan tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ditemukan banyak diantara mereka belajar di ruangan kelas yang tidak layak untuk pendidikan, misalnya dari 93.629 buah TK di Indonesia hanya 77.339 buah yang layak menjadi tempat belajar.
Walaupun demikian, pelayanan tersebut masih tergolong lambat dan masih belum mampu menanggulangi pendidikan usia dini secara merata. Masih banyak anak-anak usia dini yang tersia-siakan.
Mengagas penyelamatan bersama
Jika dilihat dari anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pembinaan dan penanganan pendidikan usia dini dari tahun-ketahun dirasakan masih kecil dan masih belum mampu mempercepat melahirkan pendidikan usia dini yang menyentuh semua kalangan. Pada tahun 2006, pemerintah baru mampu menganggarkan sebesar Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar untuk dikelola daerah. Jumlah dana ini masih kecil jika bandingkan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada di Indonesia. Pada tahun 2007, terjadi penggenjotan dana untuk mendorong mutu pendidikan usia dini, pemerintah telah mengucurkan dana sekitar US$127,8 juta. Dana ini hasil kerja sama pemerintahan Indonesia dengan Bank Dunia dan Pemerintah Belanda.
Namun, melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan usia dini termasuk sarana dan prasarana maka jumlah anggaran keuangan yang dikucurkan tersebut belum sepenuhnya mampu mencerahkan pendidikan usia dini di negara yang berjumlah 224 juta jiwa ini.
Untuk menanggulangi masalah ini, perlu digagaskan penyelematan bersama dan tidak tertumpu pada anggaran yang diberikan pemerintah saja. Pemerintah harus mempunyai sistem yang cerdas dalam menggagas pendidikan yang berbasis partisipasi. Apalagi dalam era otonomi daerah sekarang ini, pemerintah mempunyai peluang yang luas dalam mengembangkan daerah bersama masyarakat. Peluang yang luas ini pula yang akan menyelamatkan pendidikan usia dini. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Menurut Osborne dan Geabler salah satu tugas dari pemerintah adalah mewujudkan partisipasi masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut dan tidak selalu menempatkan masyarakat di ranah objek.
Dalam konteks kondisi Indonesia seperti sekarang ini, jumlah orang miskin yang meningkat akibat kenaikan harga dan pemutusan hubungan kerja yang cukup tajam, maka yang terpenting dilakukan dalam menyelamatkan anak-anak mereka adalah membangun sekolah untuk semua.
Termasuk membangun sekolah usia dini yang ramah biaya yang dapat dijangkau oleh semua orang. Oleh sebab itu, filantropi-filantropi pendidikan harus berkembang dan sekolah-sekolah kapitalis yang berorientasi bisnis belaka sudah saatnya berhati nurani untuk menampung anak bangsa yang membutuhkan pendidikan
http://www.padangmedia.com/v2/index.php?mod=artikel&j=5&id=40